21 April 2018 | Kegiatan Statistik Lainnya
Isu gender selalu menjadi trending topik saat pra dan paska Indonesia memeringati Hari Kartini setiap tanggal 21 April. Isu ini sejatinya bukan isu yang sepele, melainkan bisa meluas hingga ke ranah sosial dan agama. Namun seiring berjalannya waktu dimana dunia kerja lebih melihat kinerja bukannya siapa pekerjanya, membuat peluang perempuan menjadi lebih besar untuk bersanding atau bahkan mengungguli laki-laki dalam berbagai hal. Sebut saja srikandi-srikandi yang muncul di era Kabinet Kerja Bapak Jokowi, mulai dari yang ‘garang’ macam ibu Susi Pudjiastuti hingga yang ‘lihai’ mengatur perekonomian Indonesia macam ibu Sri Mulyani. Nama-nama tersebut hanyalah segelintir nama dari jutaan Kartini di era masa kini. Peran perempuan tidak lagi berkutat di dapur dan sumur saja, namun sudah merambah hingga perkantoran, guru atau bahkan profesi yang membutuhkan kemampuan fisik yang lebih dominan seperti driver. Hampir di sepanjang tahun isu gender sebenarnya terus berhembus, namun ketika mendekati perayaan Hari Kartini isu gender seakan mulai mencapai titik klimaksnya.
Apa
gender itu sebenarnya ? Istilah gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan
peran perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan.
Gender adalah pembedaan peran, tanggung jawab, kedudukan, dan pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan
sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat
istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat (Sirusa-Badan Pusat Statistik).
Gender
berbeda dengan takdir/kodrat. Takdi/Kodrat adalah sesuatu yang digariskan oleh
Tuhan, sehingga manusia tidak berdaya untuk merubah atau menolaknya. Sementara
itu, kodrat bersifat universal, misalnya melahirkan, menstruasi dan menyusui
adalah kodrat bagi perempuan, sementara mempunyai jakun dan memilki suara yang
besar adalah kodrat bagi laki-laki.
Keadilan
gender akan dapat terjadi apabila tercipta suatu kondisi di mana porsi dan
siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi dan seimbang. Sedangkan ketidakadilan
gender justru kondisi dimana tidak ditemukannya keadilan akibat dari sistem dan
struktur sosial, sehingga perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari pada
sistem tersebut. Laki-laki dan perempuan berbeda hanya karena kodrat antara
laki-laki dan perempuan berbeda.
Dalam
melihat peran antara laki-laki dan perempuan ini, Badan Pusat Statistik
mengukurnya ke dalam sebuah indeks yang dikenal dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG merupakan salah satu
ukuran tingkat keberhasilan capaian pembangunan yang sudah mengakomodasi
persoalan gender. IPG merupakan ukuran pembangunan manusia yang merupakan
komposit dari empat indikator, yang lebih menekankan status perempuan khususnya
dalam mengukur kemampuan dasar. IPG juga menjadi refleksi pencapaian kualitas
hidup semua penduduk yang meliputi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. IPG
merupakan rasio antara IPM perempuan dengan laki-laki, sehingga jika angka IPG
sama dengan 100 maka capaian perempuan sama dengan laki-laki, jika IPG kurang
dari 100 (IPG <100) maka capaian perempuan masih di bawah laki-laki
sendangkan sebaliknya jika IPG lebih dari 100 (IPG >100) maka capaian
perempuan lebih tinggi dari laki-laki.
Bagaimana
kondisi kesetaraan gender Kepulauan Bangka Belitung sendiri ?
Penghitungan
angka terakhir IPG Babel sendiri secara agregat masih di bawah 100 yakni 88,9.
Ini artinya capaian perempuan Babel belum bisa menyamai pencapaian laki-lakinya.
Di sisi lain dari tujuh kabupaten kota yang ada di Provinsi Kepualauan Bangka
Belitung hanya ada tiga kabupaten/kota yang berada di atas angka provinsi yakni
Kota Pangkalpinang (93,02), Bangka Tengah (90,55), dan Bangka Barat (89,01).
Ketiga kabupaten/kota tersebut pencapaian perempuannya hampir mendekati
pencapaian laki-laki dibandingkan agregat provinsi. Peran perempuan di ketiga daerah
tersebut relatif lebih ‘agresif’ dibandingkan daerah lainnya. Pencapaian gender
di bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan cenderung hampir seimbang antara
perempuan dan laki-laki. Walapun secara ukuran statistik eksistensi perempuan
lebih bermakna di ketiga daerah tersebut, bukan berarti di daerah lainnya tidak
dihargai. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik daerah tertinggi dan
terendah angka IPG-nya. Kota Pangkalpinang dengan IPG tertinggi merupakan
daerah yang digerakkan dengan sektor ekonomi sekunder dan tersier dimana
lapangn usaha yang ada di dalamnya tidak banyak membutuhkan kekuatan fisik yang
dominan. Banyak terlihat disana gedung-gedung tinggi perkantoran dan industri
yang jumlah pekerja laki-laki dan perempuannya hampir sama. Berbeda halnya
dengan daerah Kabupaten Bangka Selatan yang perekonomiannya banyak digerakkan
oleh sektor primer seperti halnya perkebunan dan pertanian. Sektor ini lebih
membutuhkan banyak kekuatan fisik dan pekerjaan lapangan yang dimana dalam
budaya timur pekerjaan-pekerjaan ini digeluti oleh kaum laki-laki.
Kesetaraan
gender dapat menggambarkan struktur perekonomian yang sedang berlangsung di
daerah tersebut. Tentu tidak bisa serta merta apabila IPG tinggi daerah
tersebut lebih sejahtera atau tidak, tentu dibutuhkan penelitian yang lebih
lanjut untuk menjelaskan hal tersebut. Namun di luar itu semua mengisyaratkan
bahwa mau laki-laki ataupun perempuan asalkan dapat bermanfaat bagi lingkungan
dan mengambil andil besar dalam tatanan masyarakat maka sah-sah saja. Selamat
Hari Kartini , jayalah terus Indonesiaku.
Ditulis Oleh :
Royhan Faradis, SST
KSK Simpang Renggiang, BPS
Kabupaten Belitung Timur
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Timur (Statistics of Belitung Timur Regency)Jl. Raya Manggarawan Desa Padang Manggar
Kepulauan Bangka Belitung Indonesia
Telp (0719) 9220090
9220091
Mailbox : bps1906@bps.go.id