20 Mei 2019 | Kegiatan Statistik Lainnya
Ramadhan telah datang. Seluruh umat manusia
seantero dunia mulai mengikat pinggang untuk menahan lapar, dahaga dan hawa
nafsunya. Deretan sandal tampak ramai tersusun rapi di pekarangan masjid tanda
banyaknya makmum yang datang berbondong-bondong. Gema shalat berjamaah saling
bersaut-sautan dalam gelapnya malam tanda shalat tarawih mulai ditunaikan.
Atmosfer ini membuat siapa saja yang merasakannya akan berdecak kagum, apalagi
di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah umat muslim terbanyak di
dunia.
Para mubaligh banyak menyuarakan bahwa bulan
Ramadhan ini sejatinya terbagi ke dalam tiga fase penting. Fase pertama adalah fase
rahmat. 10 hari pertama di bulan Ramadhan merupakan bulannya kedemawanan untuk
peduli terhadap sesama. Terkhusus di fase pertama ini, ibadah puasa akan terasa
sangat berat karena perut terkejut karena dipaksa untuk puasa. Padahal di
setiap bulannya terus bekerja menggiling semua makanan yang masuk ke badan.
Fase kedua merupakan fase Maghfirah atau ampunan. Pada 10 hari kedua kita
diminta untuk banyak-banyaknya meminta ampunan dan menyesali perbuatan dan
perkataan yang tercela sebelum Bulan Ramadhan datang. Sedangkan fase terakhir
merupakan fase pembabasan dari api neraka. Tidak mudah tentunya di fase 10 hari
terakhir ini. Sandal-sandal yang di awal Ramadhan banyak ditemukan di tempat
ibadah baik saat tarawih ataupun waktu-waktu shalat fardlu, kini seolah hilang.
Justru pada momen itu, suara bunyi sandal-sandal tadi dapat terdengar hilir
mudik di pusat perbelanjaan. Fenomena ini menarik dimana perhatian umat sudah
mulai berubah. Shaf shalat makin maju tetapi shaf parkiran di pusat
perbelanjaan makin kebelakang.
Imam Ghazali mengemukakan pendapatnya mengenai
hakikat puasa. Menurutnya sudah cukup bagi kita dengan menahan nafsu dan
syahwat agar syarat sah puasa dapat terpenuhi. Namun ulama memaknai sahnya
puasa lebih dari itu. Puasa yang sah adalah puasa yang diterima disertai dengan
maksud dan tujuannya tercapai. Diantara tujuan berpuasa adalah mengontrol diri
dari sikap berbohong, menggunjing, mengadu domba, sumpah palsu, dan melihat
dengan syahwat. Perkara-perkara tersebut tidak mudah untuk kita hadapi bersama
di bulan yang mulia ini, apalagi pasca pemilihan presiden di Bulan April
kemarin. Buktinya saja banyak kasus hingga klaim kemenangan sebelum
penghitungan real count KPU hingga
aksi makar memicu amarah dari beberapa kalangan masyarakat.
Ramadhan seyogyanya menjadi momen investasi
bagi umat muslim karena pada bulan ini segala hawa nafsu dicoba untuk direm.
Dengan diremnya hawa nafsu ini seharusnya pengeluaran rumah tangga pun juga
semakin direm. Jika kita analogikan ke dalam analogi sederhana saja, pada bulan
puasa kita hanya makan berat selama dua kali saja yakni saat berbuka puasa dan sahur.
Berbeda dengan pada bulan-bulan lainnya dimana makan berat umumnya dijadwalkan
sampai tiga kali sehari. Jika asumsi setiap porsi makanan bernilai Rp. 15.000,-
dan dalam satu rumah tangga terdapat empat anggota rumah tangga maka sehari
pengeluarannya akan dapat dihemat sampai Rp. 60.000,-. Maka untuk satu bulan
dapat berhemat hingga Rp. 1.800.000 , setahun dapat berhemat sampai Rp.
21.600.000. Dengan nominal tersebut setidaknya dalam setahun dapat untuk
dialokasikan ke kebutuhan pendidikan, pembelian kendaraan atau untuk berkurban
seekor sapi pada Hari Raya Idul Adha.
Fakta
yang kontradiktif
Berdasarkan data Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung menunjukkan hal yang kontradiktif. Fenomena-fenomena yang terjadi pra
dan pasca Ramadhan justru menunjukkan adanya pengeluaran yang masif dari sektor
rumah tangga. Berbanding terbalik dengan hakikat Ramadhan dimana dituntut
kepada yang menjalankannya untuk berhemat.
Mulai tahun 2016 hingga 2018, Bulan Ramadhan
jatuh di triwulan II kalender Masehi yakni di rentang April-Juni. Di periode
inilah justru pengeluaran konsumsi rumah tangga penduduk Babel memiliki laju
optimal dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pengeluaran meningkat paling
drastis dibandingkan triwulan-triwulan lainnya. Pada tahun triwulan II 2016
laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai level 2,01 persen
dibandingkan triwulan I. Pada triwulan II 2017 mencapai laju pertumbuhan 1,92
persen dibandingakn triwulan sebelumnya. Pola yang sama masih terjadi pada 2018
dimana pada triwulan II laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga
mencapai level pertumbuhan di 1,91 persen.
Ternyata fenomena “borosnya” pengeluaran rumah
tangga tidak terjadi di Babel saja melainkan sudah menjadi fenomena nasional
walaupun dengan variasi yang beragam. Hal ini jelas tergambarkan dari
perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Secara nasional pengeluaran
konsumsi rumah tangga meningkat lajunya di triwulan II tetapi mencapai
puncaknya di triwulan III yakni pasca Bulan Ramadhan. Jika dibandingkan secara
triwulanan (q-to-q) , pada tahun 2017 dan 2018 di triwulan II mencapai laju
pertumbuhan 1,37 persen dan 1,59 persen. Efek Ramadhan secara nasional
berlangsung cukup panjang hingga triwulan III yakni mencapai pertumbuhan laju
konsumsi ke angka 3,40 persen di 2017 dan 3,24 persen di 2018.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terbagi lagi
ke dalam beberapa sub komponen pengeluaran. Yang menarik dari komposisi
pengeluaran ini, hampir seluruh sub komponen pengeluaran mengalami peningkatan.
Sub komponen pengeluaran yang mengalami penigkatan laju pertumbuhan paling
tinggi pada tahun lalu adalah sub komponen restoran dan hotel. Sub komponen ini
naik pertumbuhannya hingga ke level positif 4,75 persen di triwulan III
berbanding terbalik dengan yang terjadi di triwulan I dimana terjadi degradasi
pertumbuhan ke level minus 1,24 pesrsen . Hal ini terjadi karena didorong oleh
jumlahnya pemudik yang membutuhkan akomodasi dan wisata kuliner saat berlebaran
dan kegiatan lainnya sepanjang Ramadhan. Fenomena mudik lebaran juga memberikan
dampak yang signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi sub komponen transportasi
dan komunikasi. Sebagai contoh di tahun 2018, sub komponen ini yang tadinya anjlok
di triwulan I dengan laju negatif 0,15 persen, tiba-tiba di triwulan kedua
mulai merangkak naik dengan laju positif 1,56 persen dan semakin meroket di
triwulan berikutnya ke level 4,24 persen. Rentetan naiknya tingkat konsumsi
rumah tangga ini sangat erat sekali dengan aktivitas-aktivitas sepanjang bulan
Ramadhan.
Bulan ini seharusnya menjadi momen untuk
mengerem hawa nafsu. Semoga tingginya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga di
atas dibarengi dengan tingkat transfer yang tinggi dari rumah tangga yang satu
dengan rumah tangga yang lain, dengan sebutan lain sakni sedekah. Apabila
tingkat sedekah tinggi, semoga pemerataan pendapatan dari seluruh umat dapat
tewujud. Tentu dari sisi makroekonomi naiknya pertumbuhan konsumsi ini membawa
angin segar bahwa perekonomian masih berjalan dengan kondusif dan perputaran
roda ekonomi berjalan dengan baik. Semoga dengan momen Ramadhan dimana
disyariatkan kepada kaum muslim untuk berpuasa dan menahan nafsu membuat roda
perekonomian bergerak ke arah yang positif. Bukankan telah dijanjikan satu
tempat khusus di surga, yang pintunya bertuliskan Al-Rayyan (kesegaran,
kedamaian) dan hanya bisa dimasuki oleh mereka yang ahli berpuasa. Setelah
semua ahli berpuasa telah masuk, pintu itu akan tertutup, dikunci, dan tidak
membiarkan selain orang yang ahli berpuasa memasukinya. Semoga bagi mereka yang
melaksanakannya digolongkan ke dalam golongan tersebut.
Ditulis Oleh:
Royhan Faradis S.ST
Fungsional Statistisi BPS Kab.
Belitung Timur
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Timur (Statistics of Belitung Timur Regency)Jl. Raya Manggarawan Desa Padang Manggar
Kepulauan Bangka Belitung Indonesia
Telp (0719) 9220090
9220091
Mailbox : bps1906@bps.go.id